NusamandiriNews, Jakarta–Di era digital, anak-anak semakin mudah mengakses dan menciptakan konten. Kemampuan ini, di satu sisi, memicu kreativitas dan keberanian tampil di depan publik. Namun, Ricky Sediawan, pustakawan Universitas Nusa Mandiri (UNM) sebagai Kampus Digital Bisnis mengingatkan akan bahaya laten jika aktivitas tersebut tidak dibarengi dengan literasi kritis.
“Bikin konten bisa, tapi harus paham maknanya,” tegas Ricky dalam keterangan rilis yang diterima, pada Kamis (11/9). Ia menambahkan bahwa membuat konten tidak hanya sekadar soal pencahayaan, editing, atau jumlah penonton.
Baca juga: Perpustakaan di Era Digital: UNM Dorong Transformasi Menuju Pusat Literasi Modern
Kreatif di Dunia Digital
“Pemahaman kritis terhadap informasi jauh lebih penting. Anak-anak perlu belajar memilah berita benar dan salah, memahami dampak konten buatan mereka, dan mengerti etika berbagi di dunia digital. Tanpa literasi kritis, mereka hanya menjadi “mesin konten” yang ahli secara teknis namun tak menyadari risiko privasi, cyberbullying, atau bahkan menjadi korban misinformasi,” paparnya.
Sekolah dan orang tua memiliki peran krusial dalam membentuk literasi digital anak. Sekolah, lanjut Ricky, tidak cukup hanya mengajarkan komputer atau multimedia, namun juga perlu melatih siswa berpikir kritis melalui diskusi, studi kasus, atau analisis berita.
“Orang tua pun harus aktif terlibat, mengajak anak berdiskusi tentang konten yang mereka tonton dan buat. Bukan hanya berkomentar tentang kelucuan video atau jumlah penonton, tetapi juga menanyakan keamanan informasi yang dibagikan dan alasan pemilihan topik tertentu,” jelasnya.
Ricky juga menekankan bahaya konten viral yang tidak selalu positif. Banyak konten viral yang justru menyebarkan hoaks, melakukan cyberbullying, atau memberikan contoh buruk. Oleh karena itu, literasi kritis sangat penting untuk memikirkan terlebih dahulu sebelum memposting sesuatu. “Konten ini benar tidak? Aman dibagikan tidak? Ada manfaatnya untuk orang lain atau hanya sekadar ingin terkenal?” pertanyaan-pertanyaan ini harus selalu dipertimbangkan, khususnya mengingat kecepatan perubahan dunia digital.
“Ngonten sejak dini memang bisa jadi sarana kreatif yang keren. Anak muda sekarang punya akses gampang buat bikin konten dan eksis di dunia digital. Tapi kalau cuma fokus ke viral dan teknis editing, tanpa dibarengi literasi kritis, hasilnya bisa bahaya: gampang percaya hoaks, asal ikut tren, sampai bikin konten yang merugikan orang lain,” katanya.
Baca juga: Perpustakaan UNM: Benteng Literasi Kritis di Era Banjir Informasi
Ia menyarankan agar anak muda tidak terburu-buru mengejar popularitas, tetapi memprioritaskan kebenaran, keamanan, dan manfaat konten yang mereka buat. Orang tua, guru, sekolah, dan komunitas juga perlu mendukung anak-anak menjadi kreator konten sekaligus menanamkan pemahaman tentang dampak dan etika digital.
Terakhir, ia mengajak seluruh netizen untuk menjadi audiens yang kritis, tidak mudah membagikan informasi tanpa verifikasi, dan tidak mudah percaya pada informasi yang belum tentu benar.
“UNM sebagai Kampus Digital Bisnis juga turut berperan serta dalam mendorong literasi digital yang kritis dan bertanggung jawab,” tutupnya.