NusamandiriNews–Di lingkungan akademik, membaca sering dianggap sebagai aktivitas sederhana, sekadar membuka buku, menyerap informasi, dan melanjutkan tugas berikutnya. Namun bagi saya sebagai pustakawan di Universitas Nusa Mandiri (UNM) yang dikenal Kampus Digital Bisnis, membaca adalah fondasi intelektual yang menentukan kualitas berpikir mahasiswa. Namun muncul satu pertanyaan yang sering saya dengar: kapan waktu terbaik untuk membaca agar hasilnya maksimal?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara kaku, karena gaya belajar setiap mahasiswa berbeda. Meski demikian, ada pola yang bisa diamati yakni pola yang menunjukkan bagaimana ritme tubuh, kondisi mental, dan dinamika harian memengaruhi kualitas membaca seseorang.
Baca juga: Buku Fisik Belum Mati, E-Book Belum Menang
Waktu Terbaik Membaca?
Banyak penelitian dan pengalaman lapangan menunjukkan bahwa pagi hari adalah waktu emas untuk membaca. Setelah tubuh beristirahat, otak berada dalam kondisi paling segar. Konsentrasi meningkat, suasana lebih tenang, dan kemampuan menyerap konsep-konsep berat seperti teori, jurnal ilmiah, atau materi metodologi cenderung lebih efektif. Tidak berlebihan jika saya menyebut pagi hari sebagai “prime time intelektual” bagi mahasiswa.
Namun kehidupan kampus tidak berhenti di pagi hari. Siang hari, khususnya setelah jam kuliah, justru memberikan ruang bagi mahasiswa untuk melakukan review bacaan. Ini bukan waktu untuk memaksakan diri membaca materi berat, melainkan waktu untuk menyegarkan kembali ingatan: membaca ringkasan materi, artikel ilmiah ringan, atau melakukan pengulangan konsep dasar. Di perpustakaan, saya sering melihat mahasiswa duduk santai membaca artikel atau melakukan revisi tugas pada jam-jam ini, ritme yang lebih ringan namun tetap produktif.
Memasuki sore hari, suasana berubah. Aktivitas mulai mereda, pikiran lebih stabil, dan mahasiswa sering merasa lebih siap untuk berdiskusi atau memahami materi yang membutuhkan fokus moderat. Bagi banyak mahasiswa, sore hari adalah waktu yang ideal untuk membaca di perpustakaan kampus, bertukar ide, atau menuntaskan bacaan yang mengharuskan daya analisis lebih dalam.
Lalu datanglah malam hari, waktu favorit sebagian besar mahasiswa. Tenang, minim distraksi, dan memberikan ruang untuk berpikir lebih bebas. Malam hari cocok untuk membaca secara reflektif: mencatat, merenung, hingga menghubungkan konsep-konsep dari berbagai sumber. Namun saya selalu mengingatkan mahasiswa untuk tidak membaca dalam kondisi terlalu lelah, karena membaca tanpa pemahaman hanya akan menambah tumpukan halaman, bukan menambah kualitas pengetahuan.
Baca juga: Perpustakaan UNM, Lebih dari Sekadar Rak Buku
Pada akhirnya, saya ingin menegaskan satu hal bahwa waktu terbaik untuk membaca bukan bergantung pada jam, melainkan bergantung pada kesiapan mental, kejernihan pikiran, dan lingkungan yang mendukung. Mahasiswa tidak perlu terpaku pada pola orang lain. Kenali ritme diri sendiri. Pilih waktu saat pikiran paling siap menyerap ilmu, bukan sekadar mengikuti tren ketika “semua orang belajar.”
Sebagai bagian dari Kampus Digital Bisnis, perpustakaan Universitas Nusa Mandiri terus mendorong budaya membaca yang adaptif, fleksibel, dan berbasis kesadaran diri. Karena membaca yang baik bukan soal kapan, tetapi soal bagaimana seseorang memaknainya sebagai bagian dari perjalanan akademik.
Penulis: Dio Andre Nusa, Pustakawan Universitas Nusa Mandiri












