NusamandiriNews, Depok – Kalau dengar kata SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal), kebanyakan mahasiswa mungkin bakal garuk-garuk kepala. Apaan lagi tuh? Tugas tambahan kah? Atau singkatan baru dari dosen biar rapat makin ribet? Padahal, kalau mau jujur, SPMI ini adalah semacam “rem tangan” dan “GPS” buat kampus biar nggak asal jalan, tapi juga tahu mau ke mana.
Nah, Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) nyambangi Universitas Nusa Mandiri (UNM) kampus Margonda pada Selasa (30/9). Rekomendasi LLDIKTI Wilayah III Jakarta jadi latar belakangnya, mungkin mereka bilang “Belajarlah ke UNM, kalau mau ngerti gimana caranya mutu kampus bisa jadi budaya, bukan sekadar dokumen buat akreditasi.”
Baca juga: Studi Banding, Kopi, dan Mimpi Pendidikan yang Lebih Waras
Di depan para tamu, Endang Pujiastuti dari BPM (Badan Penjaminan Mutu) UNM tampil dengan materi manis, “SPMI UNM mulai dari proses menuju keunggulan”. Jangan salah, ini bukan sekadar judul presentasi.
Puji, sapaannya, bilang, “Sejak Desember 2019 kami teken komitmen, SPMI di UNM bukan buat compliance doang. Mutu itu harus hidup, jalan, dan berulang lewat siklus PPEPP. Dari situ lahirlah budaya mutu.”
Endang juga cerita soal inovasi audit mutu berbasis digital. Bayangin, bahkan ngecek standar pun sudah paperless. UNM pakai 14 standar sesuai aturan baru, mencakup pendidikan, riset, pengabdian, sampai integrasi antar bidang.
Dr. Ismail Razak dari UNKRIS menyambut dengan jujur, “Kami berharap kunjungan ini bisa jadi awal kerja sama yang saling melengkapi. Banyak hal yang bisa dipelajari dari UNM, terutama soal mutu dan kurikulum.”
Kalau dilihat dari jauh, studi banding memang sering dianggap “sekadar formalitas.” Foto bersama, tukeran cendera mata, lalu pulang. Tapi di balik itu, ada harapan bahwa semoga kampus nggak hanya jadi pabrik gelar, tapi juga benar-benar tempat menempa daya saing.
Baca juga: UNM Kampus Margonda Jadi Pusat Perhatian, UNKRIS ‘Mengintip’ Rahasia SPMI dan Kurikulum Unggul
Dan mungkin, studi banding ini memberi kita refleksi kecil, di dunia pendidikan tinggi, saling mencontek ternyata sah-sah saja, asal yang dicontek adalah praktik baik. Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar nama kampus di papan akreditasi, tapi masa depan ribuan mahasiswa yang berharap kuliah bukan cuma soal ijazah, melainkan soal jadi manusia yang lebih siap hidup.(ACH)