NusamandiriNews–Di era digital yang bergerak lebih cepat daripada kemampuan manusia beradaptasi, perpustakaan menghadapi pilihan: berubah atau ditinggalkan. Sebagai pustakawan di Universitas Nusa Mandiri (UNM) sebagai Kampus Digital Bisnis, saya melihat langsung bagaimana kecerdasan buatan (AI) telah menggeser paradigma perpustakaan dari sekadar tempat menyimpan buku menjadi pusat informasi cerdas yang bekerja 24 jam sehari.
AI kini hadir sebagai “asisten tak terlihat” yang mengotomatisasi katalogisasi, membantu pencarian informasi, bahkan menganalisis kebiasaan baca pengguna. Sistem rekomendasi berbasis AI dapat menyarankan buku secara personal, menciptakan pengalaman baru yang lebih manusiawi ironisnya, meski dilakukan oleh mesin. Tanpa kemampuan ini, perpustakaan modern tidak akan mampu memenuhi ekspektasi generasi yang ingin semua hal berjalan cepat, relevan, dan langsung.
Baca juga: Cuan Melejit 2025 Berkat Literasi Digital & AI
Ledakan AI di Perpustakaan
AI juga membawa perubahan besar dalam hal aksesibilitas. Teknologi pengenalan suara, chatbot layanan akademik, hingga alat pembaca otomatis memungkinkan mahasiswa dengan keterbatasan fisik untuk mengakses koleksi perpustakaan tanpa hambatan. Transformasi seperti ini menjadi bukti bahwa perpustakaan tidak hanya harus cerdas, tetapi juga inklusif.
Namun, hadirnya teknologi baru selalu diikuti dengan dilema moral. Privasi data, keamanan informasi, hingga potensi bias algoritma menjadi kekhawatiran yang tidak boleh diabaikan. Kehadiran AI bukan sekadar persoalan teknis, ini adalah persoalan etika. Perpustakaan, sebagai penjaga literasi, wajib memastikan bahwa inovasi digital tidak mengorbankan nilai-nilai dasar yakni kebebasan membaca, kerahasiaan pengguna, dan keadilan akses informasi.
Meskipun begitu, satu hal yang perlu diperjelas yakni AI tidak akan menggantikan pustakawan. AI hanya mengambil alih pekerjaan administratif yang repetitif, bukan peran kemanusiaan yang penuh empati. Pustakawan tetap dibutuhkan untuk membangun budaya literasi, membimbing mahasiswa memahami sumber kredibel, mengajarkan etika informasi, serta mengkurasi pengetahuan yang relevan bagi perkembangan akademik. AI adalah alat; pustakawan adalah pengarahnya.
Di Indonesia, beberapa perpustakaan perguruan tinggi mulai bergerak, meski dengan tantangan. Infrastruktur yang belum merata, minimnya pelatihan, dan resistensi terhadap teknologi menjadi kendala. Namun saya optimis: perpustakaan yang mampu beradaptasi dengan AI akan menjadi ruang strategis dalam peningkatan literasi digital, riset akademik, hingga inovasi mahasiswa.
Baca juga: Mahasiswa 2025 Wajib Tahu! Literasi Digital Jadi Mata Uang Baru
Universitas Nusa Mandiri, dengan identitasnya sebagai Kampus Digital Bisnis, berada pada jalur yang tepat untuk memimpin transformasi ini. Kami tidak sekadar mengikuti perkembangan zaman, tetapi aktif membangunnya. Dengan kolaborasi antara pustakawan, akademisi, dan teknologi, perpustakaan akan menjadi ekosistem cerdas yang melahirkan generasi literat dan inovatif.
AI tidak menghilangkan jati diri perpustakaan, AI memperluasnya. Dari ruang sunyi dengan rak-rak kayu, perpustakaan kini menjadi pusat pengetahuan yang hidup, adaptif, dan berdaya cipta. Dan di tengah perubahan itu, pustakawan tetap menjadi kompas yang menjaga agar kemajuan teknologi tetap berpihak pada kemanusiaan.
Penulis: Suagam, Pustakawan Universitas Nusa Mandiri












