Dalam beberapa tahun terakhir, isu kekerasan di lingkungan pendidikan tinggi tidak lagi bisa dianggap sepele. Ia muncul ke permukaan dalam berbagai bentuk kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, hingga penyalahgunaan kekuasaan. Semua ini mengingatkan kita bahwa kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan ruang hidup yang seharusnya aman, adil, dan berpihak pada keberdayaan.
Sebagai Ketua Satgas PPK di Universitas Nusa Mandiri (UNM), yang dikenal sebagai Kampus Digital Bisnis, saya menyambut dengan penuh apresiasi atas peluncuran Aplikasi Crisis Response System (CRS) dan Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) oleh LLDikti Wilayah III pada 15 Juli 2025 lalu. Bagi saya, peluncuran ini bukan sekadar agenda simbolik, melainkan sinyal kuat bahwa negara melalui Kemendikbudristek tengah mendorong perubahan besar-besaran dalam tata kelola kampus dari yang semula informal dan tertutup, menuju sistem yang digital, transparan, dan berbasis regulasi.
Membangun Kampus Aman Melalui Sistem Digital
Crisis Response System (CRS) menjadi terobosan penting. Ia menghadirkan akses pelaporan yang mudah, aman, dan tidak mengintimidasi, khususnya bagi para penyintas yang selama ini merasa takut, malu, atau enggan datang langsung ke ruang-ruang formal kampus. Dalam sistem ini, pelaporan dapat dilakukan secara rahasia, identitas pelapor dapat disamarkan, dan seluruh proses terdokumentasi dengan baik. Namun, aplikasi hanyalah alat. Di balik sistem digital ini, yang terpenting tetaplah manusianya. Tanpa sumber daya yang berempati, berpihak kepada korban, dan memahami nilai-nilai keadilan, sistem sebagus apa pun akan kehilangan maknanya.
Inilah pekerjaan rumah kita selanjutnya: memastikan bahwa para anggota Satgas tidak hanya memahami prosedur kerja, tetapi juga dibekali kemampuan mendengar dengan tulus, menanggapi tanpa menghakimi, serta mendampingi korban secara utuh. Selama mengikuti pelatihan Satgas PPK beberapa waktu lalu, saya paling terkesan dengan satu prinsip penting dalam mendampingi korban: mendengar, tidak menyela, dan menghubungkan. Kalimat sederhana ini menyiratkan filosofi yang dalam, bahwa korban bukan sekadar pelapor dalam kasus, melainkan manusia yang sedang terluka dan membutuhkan ruang aman untuk dipulihkan.
Hadirnya pedoman berbasis Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 juga menjadi langkah penting dalam mempertegas standar dan mekanisme kerja Satgas di seluruh perguruan tinggi. Tidak ada lagi ruang untuk alasan “belum tahu caranya” atau “tidak ada mekanisme”. Seluruh proses dari verifikasi awal, klarifikasi, pendampingan, hingga tindak lanjut, telah diatur secara sistematis. Di Universitas Nusa Mandiri, kami telah mulai menyosialisasikan CRS ke seluruh unit kampus dan menyusun strategi untuk membangun budaya pencegahan kekerasan yang berkelanjutan. Kami juga mendorong keterlibatan aktif mahasiswa dalam kampanye kesadaran, pelatihan karakter, dan penguatan nilai-nilai integritas akademik.
Kami percaya bahwa pencegahan kekerasan bukan hanya tugas Satgas, melainkan gerakan bersama. Dan gerakan itu harus terintegrasi dalam semua aspek pendidikan, termasuk pengalaman belajar mahasiswa secara langsung. Oleh karena itu, UNM juga mengembangkan program unggulan yang memperkuat semangat profesionalisme dan tanggung jawab sosial, yakni Internship Experience Program (IEP) atau yang dikenal dengan skema 3+1. Dalam program ini, mahasiswa menjalani tiga tahun masa kuliah akademik dan satu tahun magang profesional di perusahaan ternama, baik nasional maupun multinasional.
Program IEP bukan hanya memberi pengalaman industri yang berharga, tetapi juga menjadi wahana pembentukan karakter. Di dunia profesional yang sesungguhnya, mahasiswa belajar berinteraksi secara etis, menghargai perbedaan, dan menghadapi tantangan secara konstruktif. Semua ini adalah fondasi yang tak terpisahkan dari misi besar menciptakan kampus yang sehat dan aman dari segala bentuk kekerasan.
Menjadi kampus yang aman dan bebas kekerasan adalah proses panjang. Ia menuntut konsistensi, evaluasi, dan keberanian untuk berubah. Dan perubahan itu tidak bisa hanya datang dari atas, tetapi harus tumbuh dari kesadaran seluruh civitas akademika. Kampus yang aman bukanlah utopia. Ia mungkin, selama kita menjadikannya sebagai gerakan bersama. Dan di Universitas Nusa Mandiri, langkah itu sudah kami mulai.
Penulis: Arfhan Prasetyo, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK), Universitas Nusa Mandiri