NusamandiriNews–Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini tak lagi sebatas wacana futuristik. Dalam beberapa tahun terakhir, AI telah menembus ruang-ruang akademik dan mengubah cara kita mengakses, mengelola, serta memahami informasi. Mesin cerdas mampu merangkum ribuan artikel ilmiah, menulis sitasi otomatis, hingga menganalisis tren penelitian dengan akurasi yang tak mungkin dilakukan manusia dalam waktu singkat.
Namun di tengah kemajuan ini, muncul pertanyaan yang kerap menggugah: jika AI bisa melakukan hampir semua hal yang berhubungan dengan informasi, apakah pustakawan masih dibutuhkan?
Baca juga: Mahasiswa Sudah Punya ChatGPT dan Google, Masih Perlukah Perpustakaan? Ini Kata UNM!
Akankah Pustakawan Tersingkir?
Pertanyaan tersebut sering kali muncul dari kekeliruan mendasar tentang peran pustakawan di era digital. Banyak yang masih membayangkan pustakawan sebagai penjaga rak buku dan katalog manual. Padahal, di masa kini, pustakawan justru menjadi navigator informasi, mitra riset, sekaligus penjaga etika akademik. Teknologi mampu memproses data, tetapi manusia tetap yang memberi makna.
Dalam konferensi internasional bertajuk “AI-Driven Academic Libraries: Innovation, Ethics, and the Future of Knowledge Management” yang diselenggarakan oleh Universitas Tarumanagara (UNTAR) pada 8 Oktober 2025 lalu, isu etika menjadi bahasan penting. AI memang menawarkan efisiensi luar biasa, tetapi tanpa pengawasan moral, teknologi ini bisa menimbulkan risiko baru mulai dari plagiarisme otomatis, manipulasi data, hingga penurunan kemampuan berpikir kritis.
Sebagai Kampus Digital Bisnis, Universitas Nusa Mandiri (UNM) menempatkan literasi digital dan etika informasi sebagai pilar utama dalam pendidikan. Mahasiswa tidak hanya dibekali kemampuan menguasai teknologi, tetapi juga dibimbing untuk menggunakannya secara bertanggung jawab dan beretika. Prinsip inilah yang menjadi pembeda antara pengguna teknologi dan pengelola pengetahuan.
Perpustakaan UNM pun telah berevolusi mengikuti semangat zaman. Dari sekadar ruang baca tradisional, kini menjadi pusat kolaborasi digital yang memadukan teknologi, literasi, dan kreativitas. Melalui sistem e-library terintegrasi, mahasiswa dapat mengakses e-book, jurnal ilmiah internasional, hingga melakukan konsultasi riset secara daring bersama pustakawan ahli.
Selain itu, UNM menghadirkan program unggulan Internship Experience Program (IEP) 3+1 yang memperkuat koneksi antara dunia akademik dan industri digital. Dalam konteks ini, perpustakaan menjadi laboratorium literasi informasi mempersiapkan mahasiswa agar tidak hanya mampu mencari data, tetapi juga memahami, menganalisis, dan memanfaatkannya dengan bijak untuk kepentingan penelitian maupun bisnis digital.
Meski mesin dapat meniru proses berpikir manusia, ada hal yang tak bisa digantikan: kebijaksanaan, empati, dan konteks. AI bisa mengenali pola, tetapi tidak memahami makna. AI bisa menulis, tetapi tidak mampu merasakan. Di sinilah letak pentingnya pustakawan sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan di tengah derasnya arus otomatisasi.
Baca juga: Perpustakaan dan Pencetakan: Pilar Penting Akses Informasi di Era Digital
Perpustakaan masa kini tidak lagi sekadar tempat menyimpan buku, tetapi ruang untuk menumbuhkan karakter intelektual dan moral. Tempat di mana mahasiswa belajar memverifikasi sumber, menghormati karya orang lain, dan menulis dengan integritas.
Kecerdasan buatan memang akan terus berkembang, tetapi manusia tetap menjadi pusat dari segala pengetahuan. Selama dunia masih membutuhkan makna di balik data, pustakawan dan perpustakaan tidak akan pernah benar-benar hilang.
Karena di balik setiap algoritma, tetap dibutuhkan nurani manusia untuk memastikan pengetahuan digunakan bukan hanya untuk kemajuan, tetapi juga untuk kebaikan.
Penulis: Ricky Sediawan, Pustakawan Universitas Nusa Mandiri (UNM)